A. Dasar Keilmuan
Pengaruh filsafat Barat atas epistemologi keilmuan mewarnai hampir seluruh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah suatu kompleksitas permasalahan yang sangat dinamis yang dihadapi manusia dalam upayanya mencari kebenaran. Pengaruh Barat ini sangat rasional mengingat ilmu pengetahuan pada kelahirannya tampak dalam bentuk filosofi Yunani Kuno sekitar 6 s.d. 3 abad SM sampai abad ke-6 Masehi. Dalam kurun 12 abad ilmu dalam wilayah filsafat yang merupakan academic community para filosof. Dalam perkembangannya secara singkat dapat dikatakan ilmu mengalami pertumbuhan dan perkembangan dari jaman Pra Yunani kuno-Yunani abad pertengahan sampai pada masa Renaissance. Dalam tataran Grand Theory The Law of Three Stages of Development dikenal perkembangan keilmuan dari tartaran theologis, metafisik, sampai pada positif.
Dalam perkembangan selanjutnya dalam upaya mencari kebenaran (epistemologi) terdapat dikotomi antara ilmu western dan ilmu non western. Western (Barat) berupaya dengan penuh kesadaran melakukan suatu kegiatan kongkret berkelanjutan untuk memperbaiki, merombak, memperbarui tata kehidupan, tata masyarakat atau tata negara yang dirasakan tidak memuaskan. Hal ini dalam bentuk filsafat ilmu pengetahuan dan implikasi-implikasinya yang dirintis sejak jaman Yunani kuno dan diterapkan di dunia Barat sejak Renaissance dan Aufklarung sampai sekarang yang hasilnya berupa IPTEK. Sedangkan ilmu Non Western subjek escape dari kenyataan yang tidak memuaskan. Artinya akan menjauhi dan mengasingkan diri secara fisik/ruhani. Pencari kebenaran akan meng “cover”, memperindah kenyataan yang tidak memuaskan dengan khayalan atau gambaran sesuatu yang ideal. Munculnya cerita lisan, dongeng, wayang, tarian, permainan bahasa, pepatah, kata bersandi, dan sebagainya. Pelarian mental ini menggambarkan hal-hal yang ideal dan indah. Meskipun hasilnya bukan sesuatu konsep filsafati yang abstrak, namun para moyang pemikir dan `begawan` ini mampu menciptakan bangunan yang indah dan besar seoperti candi, pura, kapal, dan dukungan teknologi konstruksi kapal. Ilmu falak/perbintangan, ilmu musim, kompas dan kelautan. Juga ilmu-ilmu tentang batin dan jiwa manusia.
Dalam perkembangan selanjutnya dalam upaya mencari kebenaran (epistemologi) terdapat dikotomi antara ilmu western dan ilmu non western. Western (Barat) berupaya dengan penuh kesadaran melakukan suatu kegiatan kongkret berkelanjutan untuk memperbaiki, merombak, memperbarui tata kehidupan, tata masyarakat atau tata negara yang dirasakan tidak memuaskan. Hal ini dalam bentuk filsafat ilmu pengetahuan dan implikasi-implikasinya yang dirintis sejak jaman Yunani kuno dan diterapkan di dunia Barat sejak Renaissance dan Aufklarung sampai sekarang yang hasilnya berupa IPTEK. Sedangkan ilmu Non Western subjek escape dari kenyataan yang tidak memuaskan. Artinya akan menjauhi dan mengasingkan diri secara fisik/ruhani. Pencari kebenaran akan meng “cover”, memperindah kenyataan yang tidak memuaskan dengan khayalan atau gambaran sesuatu yang ideal. Munculnya cerita lisan, dongeng, wayang, tarian, permainan bahasa, pepatah, kata bersandi, dan sebagainya. Pelarian mental ini menggambarkan hal-hal yang ideal dan indah. Meskipun hasilnya bukan sesuatu konsep filsafati yang abstrak, namun para moyang pemikir dan `begawan` ini mampu menciptakan bangunan yang indah dan besar seoperti candi, pura, kapal, dan dukungan teknologi konstruksi kapal. Ilmu falak/perbintangan, ilmu musim, kompas dan kelautan. Juga ilmu-ilmu tentang batin dan jiwa manusia.
Berkaitan dengan upaya pencarian kebenaran melalui pemahaman Psikologi Berbasis Budaya Indonesia, maka mau tidak mau akan berhadapan dengan pencarian epistemologi non western. Cakupan objek studi ini tentunya sangat luas. Telah ada upaya pencarian ilmu psikologi berbasis budaya Indonesia, seperti Darmanto Jatman (1996) melalui Psikologi Jawa yang mengambil model renungan dari konsep batin Ki Ageng Suryamentaram. Demikian juga dengan Franz Magnis Suseno yang mencoba mengidentifikasi dunia batin psikologi orang Jawa sebagaimana dalam Javanese Ethics and World-View The javanese Idea of The Good Life (1997) dan Niels Mulder yang mengeksplorasi Ruang Batin Masyarakat Indonesia melalui Inside Indonesian Society: An Interpretation of Cultural Change in Java (2001).
B. Maksud dan Tujuan
B. Maksud dan Tujuan
Sebagai outsider di bidang Psikologi tentunya sangat riskan untuk mengklaim bahwa makalah ini layak untuk tema simposium ini. Namun tidak ada salahnya apabila dicoba untuk turut menyumbangkan pikiran secara interdisipliner bidang studi kultural. Sebagaimana dalam tradisi academic community ilmu dapat dilihat dari dimensi-dimensi dengan mengkaitkan keilmuan yang satu dengan yang lain serta diupayakannya sebuah temuan/discovery .
Paparan ini mengambil objek kajian folklore nusantara untuk lebih lanjut diambil makna makna batin masyarakat penuturnya sebagai bahan (objek) kajian psikologi. Dasar pijakannya adalah pemahaman (verstehen), karena sifat ilmu ini adalah geisteswissenschaften atau kultuurwissenschaften. Filsafat keilmuan ini adalah subjek masuk ke dalam objek. Subjek mentransposisikan pengalaman dalam arti memindahkan objektivitas masuk kembali ke pengalaman reproduktif. Sifat memberi pemahaman maknawi (verstehen/understand) dimaksudkan untuk memperoleh makna tentang objek yang dihadapi. Hasilnya berupa makna yang tersimpul dalam objek. Objek dapat berupa teks, simbol, dan peristiwa, yang menampak dalam kesadaran objek.
Alat analisis kajian ini adalah hermeneutika. Hermeneutika (Yunani: Hermes: Hermeneuien: `menafsirkan`) akan merekonstruksi dan mereproduksi maksud pendapat/perasaan sebagaimana tertera dalam suatu teks atau simbol dengan cara mentransposisi suatu peristiwa sejarah dan apa yang terjadi pada masa lalu ke kondisi aktual masa kini. Semuanya tidak untuk diulangi melainkan diberi makna baru melalui penafsiran kembali melalui kerangka pengalaman penafsir yang aktual/dalam kondisi masa kini. Hasilnya adalah sesuatu yang maknawi dalam dimensi yang lebih luas. Misalnya dengan mengkaji dongeng-dongeng yang berkembang di tiap daerah di Indonesia yang merupakan produk masa lalu diboyong ke masa kini dan diberi makna untuk dapat diterapkan ke masalah yang lebih luas, misalnya psikologi.
C. Sekilas Folklore dan Antropologi Psikologi
Folklore secara umum didefinisikan sebagai bagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun. Di antara kolektif dalam berbagai macam versi yang berbeda dan bersifat tradisional baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat/mnemonik device (Danandjaja, 2002:2). Folklore biasanya mempunyai bentuk yang berpola sebagaimana dalam cerita rakyat atau permainan rakyat pada umumnya. Folklore pada umumnya mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif misalnya cerita rakyat sebagai alat pendidik, hiburan, protes sosial, dan proyeksi suatu keinginan yang terpendam. Sebagai bentuk kebudayaan milik bersama (kolektif) folklore bersifat pralogis yaitu logika yang khusus dan kadang berbeda dengan logika umum. Penelitian tentang folklore telah banyak dilakukan untuk berbagai macam tujuan, misalnya untuk tujuan Antropologi, Pendidikan, Bahasa, Seni Pertunjukan, Sosiologi, dan berbagai pranata sosial.
Penelitian folklore dapat juga dimanfaatkan untuk bidang Psikologi, karena folklore mengungkapkan secara sadar atau tidak sadar bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak, berperilaku, dan memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai, dan mengabadikan hal-hal yang dirasa penting oleh folk kolektif pendukungnya. Misalnya bagaimana norma-norma hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat Minangkabau melalui pepatah, pantun, dan peribahasa. Demikian juga bagaimana norma-norma hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat Jawa melalui permainan rakyat (dolanan, tembang), bahasa rakyat (parikan, tembung seroja, sengkalan, dsb.), puisi rakyat, ragam seni pertunjukan, lelucon, bahkan manifestasi dalam fisik kebudayaan seperti batik, wayang, tarian, dan sebagainya.
Sebagaimana dikemukakan oleh William R. Bascom (1965) bahwa empat fungsi utama folklore adalah: (a) sebagai sistem proyeksi, yaitu alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak, dan (d) sebagai alat pengawas atau kontrol agar norma-norma masyarakat dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Secara teori folklore berkaitan dengan tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu ekonomi (sistem pencaharian hidup), teknologi (sistem peralatan dan perlengkapan hidup), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi. Berdasarkan tujuh unsur kebudayaan universal tersebut maka folklore dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar yaitu folklore lisan, folklore sebagian lisan, dan folklore bukan lisan. Brunvand (1968) menyatakan folklore terdiri atas mentifacts, sociofact, dan artifacts. Selain itu kebudayaan pada hakikatnya merupakan tata kelakuan manusia, kelakuan manusia dan hasil kelakuan manusia, maka Psikologi Masyarakat Indonesia dapat dipahami melalui pengkajian folklore nusantara sebagai dasar pemahaman psikologi berbasis budaya Indonesia, baik dalam bentuk, fungsi dan maknanya. Dalam bidang antroplogi-psikologi hal ini sangat penting. Antropologi budaya dan antropologi sosial yang memiliki hubungan erat dengan folklore dapat berhubungan dengan ilmu psikologi kepribadian, psikologi perkembangan, ilmu psikiatrik, dan psikoanalisa secara produktif dan sistematis.
Sebagaimana telah diketahui psikologi kepribadian yang meliputi perkembangan dan psikiatri memiliki objek kajian kepribadian manusia dan usaha untuk memahami mengapa serta bagaimana pribadi berbeda antara satu dengan yang lain. Sementara itu dalam antropologi psikologi ada upaya menjembatani kebudayaan dan kepribadian yang pada intinya merupakan interdisiplin antara antropologi dan psikologi (Barnouw, 1963;Danandjaja 1994). Dengan mengambil konsep Francis L. K. Hsu (1961; Danandjaja 1994) maka psikologi masyarakat Indonesia dapat dipahami melalui pengkajian folklore nusantara sebagai dasar pemahaman psikologi berbasis budaya Indonesia dapat diupayakan dikaji melalui kajian kebudayaan (Culture on Studies) khususnya folklore dengan menitikberatkan:
Sebagaimana dikemukakan oleh William R. Bascom (1965) bahwa empat fungsi utama folklore adalah: (a) sebagai sistem proyeksi, yaitu alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak, dan (d) sebagai alat pengawas atau kontrol agar norma-norma masyarakat dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Secara teori folklore berkaitan dengan tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu ekonomi (sistem pencaharian hidup), teknologi (sistem peralatan dan perlengkapan hidup), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi. Berdasarkan tujuh unsur kebudayaan universal tersebut maka folklore dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar yaitu folklore lisan, folklore sebagian lisan, dan folklore bukan lisan. Brunvand (1968) menyatakan folklore terdiri atas mentifacts, sociofact, dan artifacts. Selain itu kebudayaan pada hakikatnya merupakan tata kelakuan manusia, kelakuan manusia dan hasil kelakuan manusia, maka Psikologi Masyarakat Indonesia dapat dipahami melalui pengkajian folklore nusantara sebagai dasar pemahaman psikologi berbasis budaya Indonesia, baik dalam bentuk, fungsi dan maknanya. Dalam bidang antroplogi-psikologi hal ini sangat penting. Antropologi budaya dan antropologi sosial yang memiliki hubungan erat dengan folklore dapat berhubungan dengan ilmu psikologi kepribadian, psikologi perkembangan, ilmu psikiatrik, dan psikoanalisa secara produktif dan sistematis.
Sebagaimana telah diketahui psikologi kepribadian yang meliputi perkembangan dan psikiatri memiliki objek kajian kepribadian manusia dan usaha untuk memahami mengapa serta bagaimana pribadi berbeda antara satu dengan yang lain. Sementara itu dalam antropologi psikologi ada upaya menjembatani kebudayaan dan kepribadian yang pada intinya merupakan interdisiplin antara antropologi dan psikologi (Barnouw, 1963;Danandjaja 1994). Dengan mengambil konsep Francis L. K. Hsu (1961; Danandjaja 1994) maka psikologi masyarakat Indonesia dapat dipahami melalui pengkajian folklore nusantara sebagai dasar pemahaman psikologi berbasis budaya Indonesia dapat diupayakan dikaji melalui kajian kebudayaan (Culture on Studies) khususnya folklore dengan menitikberatkan:
- Cross cultural studies atau pengkajian lintas budaya mengenai kepribadian dan sistem sosial budaya melalui analisis kritis berbagai folklore yang berkembang dan menyebar di nusantara;
- Segala bentuk kebudayaan dalam folklore sebagai variabel bebas (independent variable) maupun variabel terikat (dependend variable) yang berkaitan dengan kepribadian;
- Kajian atas individu dan kolektif masyarakat sebagai tempat atau wadah kebudayaan.
Selanjutnya perlu dilihat juga hubungan struktur sosial dan nilai budaya dengan pola rata-rata pengasuhan anak, perilaku yang diungkapkan melalui hubungan antara pola rata-rata pengasuhan anak dengan struktur kepribadian rata-rata, hubungan antara struktur kepribadian rata-rata dengan sistem peran dan aspek proyeksi dari kebudayaan. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah konsep kepribadian-kebudayaan (personality culture) yang timbul sebagai dampak interaksi antara psikologi dan antropologi.
Tiga kelompok besar masalah hubungan antara culture and personality seperti human nature, typical personality, dan individual personality berkaitan erat dengan munculnya hubungan antara perubahan kebudayaan dengan perubahan kepribadian dan hubungan kebudayaan dengan kepribadian “abnormal”. Selama ini banyak teori yang diambil dari Perspektif Barat. Melalui pengkajian secara kritis, analitis, dan berkelanjutan tentang cross culture studies dapat dimungkinkan diperoleh sebuah konsep, model, pendekatan, paradigma dan teori psikologi berbasis budaya Indonesia. Niels Mulder (2001) telah memulai kajian tentang variasi budaya dalam kepribadian suatu masyarakat seperti benturan antarkultur, antarkebudayaan, dan antarnilai pada masyarakat berbasis budaya timur khususnya Asia Tenggara, Indonesia, Thailand, Philipina dan Jawa. Hal ini sangat mungkin dapat dikembangkan lebih lanjut mengingat pandangan hidup dan kebudayaan bukan merupakan hal yang statis melainkan kebudayaan dapat dipandang sebagai petunjuk mental dalam kehidupan maupun sesuatu yang baru.
D. Folklor Nusantara sebagai Dasar Pemahaman Psikologi Berbasis Budaya Indonesia
D. Folklor Nusantara sebagai Dasar Pemahaman Psikologi Berbasis Budaya Indonesia
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa bentuk-bentuk folklor Indonesia (Nusantara) dapat digolongkan dalam folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan. Folklor lisan bentuknya murni lisan, antara lain: bahasa rakyat, seperti logat, “julukan” pangkat tradisional, gelar kebangsawanan; ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, pemeo; pertanyaan tradisional seperti teka-teki (“bedhekan”); puisi rakyat, seperti pantun, syair, gurindam, parikan; cerita prosa rakyat, seperti dongeng, mite, legenda; dan nyanyain rakyat. Folklor sebagian lisan meliputi: kepercayaan rakyat seperti takhyul (superstitious); dan permainan rakyat. Sedangkan folklor bukan lisan misalnya makanan rakyat, arsitektur, kerajinan rakyat, perhiasan tubuh, gerak isyarat tradisional, musik rakyat, dan bahasa isyarat untuk komunikasi.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia di daerah-daerah, terutama yang masih mempertahankan nilai-nilai dan kebiasaan tradisional, hal-hal di atas masih atau sebagian masih diterapkan. Paling tidak untuk sebuah dongeng, permainan anak-anak, atau bahasa rakyat. Misalnya kisah pemanfaatan pepatah dan peribahasa pada masyarakat Minangkabau akan memberikan implikasi dan dampak psikologis dalam hubungan sosial serta pembentuk kepribadian. James Danandjaja pada 1972 telah berupaya mengumpulkan berbagai folklor Indonesia dan mengkajinya dalam perspektif antropologi.
Pengkajian folklor nusantara melalui metode survei lintas budaya untuk tujuan psikologi misalnya penelitian tentang praktik pengasuhan anak dengan unsur-unsur kebudayaan. Pengasuhan anak berpengaruh terhadap sifat-sifat kepribadian anak yang bersangkutan dan sifat-sifat kepribadian tersebut akan tetap menjadi kepribadiannya setelah ia dewasa. Banyak dongeng nusantara atau legenda yang di dalamnya dapat digali makna sistem tingkah laku, misalnya:
- Tingkah laku yang bersifat selalu minta dilayani
- Tingkah laku yang bersifat suka mengungkapkan perasaan
- Tingkah laku yang bersifat suka bergantung pada kemampuan sendiri
- Tingkah laku yang bersifat mempunyai rasa tanggung jawab
- Tingkah laku yang bersifat ingin mencapai sesuatu yang lebih baik
- Tingkah laku yang bersifat patuh pada orangtua atau pemimpin
- Tingkah laku yang bersifat gemar menolong orang lain yang sedang mengalami kesukaran
- Tingkah laku yang ingin menguasai orang lain
- Tingkah laku yang bersifat keramahan di dalam pergaulan
- Tingkah laku yang bersifat suka menyerang baik sebagai akibat ancaman maupun kesempatan. (John Whiting, Irving S., Child, et. al 1966:9-11, 78-81; dalam Dananjaya, 1994:144).
Metode pemanfaatan folklor nusantara sebagai bahan penelitian antropologi-psikologi atau dapat dimanfaatkan pada pemahaman psikologi berbasis budaya Indonesia dapat dilakukan melalui:
- Metode Tematik/Thematic analisis; metode ini akan menganalisis tema-tema yang mendasari suatu bentuk folklor. Tema cerita dalam “Bawang Merah dan Bawang Putih” bagi para gadis di Jawa; tema cerita “Malim Kundang” dari Minang; “Joko Kendil” bagi masyarakat Jawa; “Si Pitung” bagi masyarakat Betawi; peribahasa “Sehari Selembar Benang, Lama-Lama Menjadi Selembar Kain,” dsb. merupakan bahan dasar alat peda gogik yang dapat memberi pesan positif.
- Analisis Hasil Produksi Material yang merupakan proses mempelajari budaya material suatu kolektif untuk memperoleh pengetahuan mendalam mengenai struktur kepribadian, sifat-sifat dan emosi para pemilik dan pendukung budaya. Misalnya mendengarkanm “klenengan” karawitan Jawa yang lembut dan tempo lambat, lukisan batik atau ornamen pada keris di Jawa; menunjukkan bagaimana ketelatenan, detail dan filosofis mewarnai kepribadian pendukungnya. Ornamen masa lalu yang penuh seni hias; sementara sekarang lebih polos dan sederhana menunjukkan pola lkeprinbadian daya guna dan adiguna, dsb.
Ada tiga pendekatan untuk mengetahui kepribadian suatu masyarakat dengan memanfaatkan folklor. Pendekatan tersebut sebagaimana dikembangkan Victor Barnouw (dalam Dananjaya, 1994:153) adalah:
- Penelitian penjajagan (eksplorasi)
- Survey Lintas Budaya (cross culture surveys)
- Analisis intensivitas folklor suatu masyarakat.
Penelitian penjajagan (eksplorasi) misalnya menjajagi sejauh mana kesamaan tema semacam “oedipus complex” dalam cerita rakyat di Indonesia antara “Prabu Watu Gunung” di Jawa dengan “Sangkuriang” di Sunda, bahkan “Oedipus” di Barat. Motif menjadi dasar pijakan universalitas simbol-simbol psikologis (archetype arkais). Pendekatan yang kedua mencoba menghubungkan suatu nilai yang dititikberatkan pada suatu bentuk folklor, terhadap pola-pola tertentu (misalnya dalam pengasuhan anak). Dongeng-dongeng dari sejumlah suku di Indonesia dikumpulkan dan diberi skor untuk suatu kebutuhan mencapai sesuatu yang lebih baik dalam hal pengasuhan anak. Contoh lain untuk mengetahui perilaku agresif dan non agresif dari skor 12 dongeng anak di Indonesia. Tentunya untuk menghubungkan adanya tema-tema folklor pada pola pengasuhan anak. Sementara itu pada pendekatan yang ketiga dilakukan analisis terhadap intensivitas suatu folklor, baik intensif maupun kurang intensif folklor suatu masyarakat. Gambaran-gambaran kepribadian yang dapat dilihat dari aspek-aspek kebudayaan. Hubungan pria dan wanita dalam sejumlah cerita rakyat di Indonesia. Melalui pendekatan ini diketahui adanya struktur kepribadian dasar atau rata-rata yang khas dari kebudayaan yang bersangkutan, atau integrasi kebudayaan berkecenderungan untujk mengembangkan konsistensi tertentu di dalam folklornya. Bagaimanakah keterkaitan Cinderella di Barat dengan Andhe-andhe Lumut di Jawa?
E. Penutup
Penelitian folklor yang pada dasarnya meliputi tahap pengumpulan, pengklasifikasian dan penganalisaan dimaksudkan untuk mendapatkan bahan pengetahuan tata kelakuan kolektif pendukung kebudayaan. Selanjutnya secara hermeneutis dapat dijadikan sebagai sarana epistemologis ke arah antropologi psikologi atau pemahaman piskologis berbasis budaya. Sumbangan folklor nusantara terhadap pemahaman psikologi berbasis budaya dapat dipandang sebagai salah satu strategi pengembangan ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar